Dan Perkembangan Bahasa Indonesia
1. Pengertian Bahasa Kawi
Bahasa Kawi adalah suatu jenis bahasa yang pernah berkembang di Pulau Jawa pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha nusantara dan dipakai dalam penulisan karya-karya sastra. Dalam tradisi Jawa, bahasa Kawi juga disebut dengan istilah bahasa Jawa Kuna. Meskipun demikian, bahasa Kawi sendiri bukan bahasa Jawa Kuna murni, karena telah mendapat pengaruh bahasa Sansekerta.
Istilah kawi sendiri bermakna "penyair". Sedangkan karya sastra yang dihasilkan oleh Sang Kawi disebut dengan nama kakawin. Biasanya kakawin berupa rangkaian puisi yang mengikuti pola-pola tertentu.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal
dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai
seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat.
Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah
ini bisa berarti sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh
Islam atau pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama.
Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra
Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan sastra
Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang
dipakai.
Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan sampai hari ini
sebagian besar diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang telah
disalin ulang berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang
tertulis dalam bentuk asli seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali
jika ditulis pada bahan tulisan yang awet seperti batu, tembaga dan lain-lain.
Prasasti tertua dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari tahun 804, namun
isinya bukan merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada
sebuah prasasti terdapat pada Prasasti Siwagreha yang ditarikh berasal dari tahun 856 Masehi.
Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah sebuah naskah daun nipah yang berasal dari abad ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat. Naskah nipah ini memuat teks Kakawin Arjunawiwaha yang berasal dari abad ke-11.Banyak teks dalam bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dari abad ke-9 sampai abad ke-14. Namun tidak semua teks-teks ini merupakan teks kesusastraan. Dari
masa ini terwariskan sekitar 20 teks prosa dan 25 teks puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah abad ke-11.
Kawi (juga dikenal dengan nama Kavi) adalah nama untuk sistem penulisan atau aksara yang berasal dari Jawa dan digunakan di sekitar Semenanjung Malaya dalam berbagai prasasti dan tulisan dari abad ke-8 hingga sekitar tahun 1500 M.[1] Kawi juga merupakan nama dari bahasa, yaitu Bahasa Kawi yang digunakan dalam prasasti dan tulisan tersebut di atas, namun lebih umum disebut sebagai Bahasa Jawa Kuna.
Gambar : Contoh bahasa Kawi
Aliran sastra yang ditulis dengan aksara ini disebut Kakawin.
Aksara Kawi berasal dari "Aksara Pallawa" menurut para ahli Studi Asia Tenggara seperti George Coedes and D. G. E. Hall sebagai dasar dari beberapa sistem penulisan atau aksara di Asia Tenggara.
Tulisan beraksara Kawi paling awal diketahui berasal dari zaman Kerajaan Singasari di Jawa. Sedangkan yang lebih baru ditemukan dalam masa Kerajaan Majapahit, juga di pulau Jawa dan Bali, Kalimantan dan Sumatera.
Dokumen terkenal yang ditulis dalam huruf Kawi adalah prasasti Laguna Copperplate Inscription, yang ditemukan 1989 [2] di Laguna de Bay, di metropleks Manila, Filipina. Prasasti ini ditulis pada 822 tahun Saka atau setara dengan tanggal 10 Mei 900 M,[3] dan ditulis dalam Bahasa Melayu Kuna dan mengandung banyak kata pinjaman / serapan dari bahasa Sansekerta dan beberapa dari elemen perbendaharaan kata non-Melayu yang asalnya meragukan antaralain dari Bahasa Jawa Kuna atau dari Tagalog Kuna[4]. Dokumen ini, selain penemuan lain akhir- akhir ini di negara tersebut seperti Golden Tara dari Butuan serta tembikar dan artifak perhiasan emas dari abad ke-14 yang ditemukan di Cebu, merupakan hal yang sangat penting dalam upaya merevisi sejarah kuno Filipina (900–1521).
Bahasa kawi ini mempengaruhi daerah – daerah kuno di seluruh Nusantara, Seperti :
·Bahasa Aceh Kuno
·Batak Kuno
·Minagkabau Kuno
·Sunda Kuno
·Jawa Kuno
·Bali Kuno
1.Sejarah Bahasa Kawi
·Aksara/tulisan
Berdasarkan bukti-bukti tertulis yang terdapat pada prasasti-prasasti(abad 5 M) tampak
bahwa bangsa Indonesia telah mengenal huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Huruf Pallawa yang telah di-Indonesiakan dikenal dengan nama huruf Kawi.
Sejak prasasti Dinoyo (760 M) maka huruf Kawi ini menjadi huruf yang
dipakai di Indonesia dan bahasa Sansekerta tidak dipakai lagi dalam
prasasti tetapi yang dipakai bahasa Kawi.Prasasti Dinoyo berhubungan erat dengan Candi Badut yang ada di Malang.
·Kesusastraan
Setelah kebudayaan tulis seni sastrapun mulai berkembang dengan pesat. Seni sastra berbentuk prosa dan tembang (puisi). Tembang jawa kuno umumnya disebut kakawin. Irama kakawin didasarkan pada irama dari India.
Berdasarkan isinya, kesusastraan tersebut
terdiri atas kitab keagamaan (tutur/pitutur), kitab hukum, kitab
wiracarita (kepahlawanan) serta kitab cerita lainnya yang bertutur
mengenai masalah keagamaan atau kesusilaan serta uraian sejarah, seperti
Negarakertagama.
Bentuk wiracarita ternyata
sangat terkenal di Indonesia, terutama kisah Ramayana dan Mahabarata.
Kisah India itu kemudian digubah oleh para pujangga Indonesia, seperti
Baratayudha yang digubah oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh. Berkembangnya
karya sastra, terutama yang bersumber dari kisah Mahabarata dan
Ramayana, telah melahirkan seni pertunjukan wayang kulit(wayang purwa).
Pertunjukkan wayang banyak mengandung nilai yang
bersifat mendidik. Cerita dalam pertunjukkan wayang berasal dari India,
tetapi wayangnya sendiri asli Indonesia. Bahkan muncul pula tokoh-tokoh pewayangan yang khas Indonesia seperti tokoh punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Tokoh-tokoh ini tidak ditemukan di India.
Kita mungkin kerap menemui nama dan kata seperti Pustaka, Karya, Guru, Sastra, Indra, Wisnu, Wijaya, ataupun semboyan-semboyan seperti Kartika Eka Paksi ataupun Jalesveva Jayamahe. Nama-nama
dalam bahasa Sanskerta tersebut merupakan suatu bukti bahwa hingga kini
pun pengaruh India masih terasa kental di bumi Indonesia. Salah satu
penyebabnya, budaya India merupakan budaya “asing” pertama yang sifatnya
“maju” dan telah lama berasimilasi dengan budaya lokal Indonesia.
Asimilasi ini kemudian diakui selaku bagian dari budaya
Indonesia itu sendiri. Seharusnya bahasa Sanskrit
ini terus “populer” layaknya bahasa Arab, tetapi oleh sebab dahulunya ia
eksklusif dikuasai oleh hanya struktur atas masyarakat dan ahli agama
saja, tidak terlampau banyak orang menguasai dan menturun-temurunkan penguasaan bahasa ini.
Jika ditelusuri ke belakang, maka bahasa yang
berkembang di Indonesia dapat dibagi dua kelompok. Pertama rumpun bahasa
Papua dan kedua rumpun bahasa Austronesia. Rumpun bahasa Austronesia
terdiri atas 200 jenis, sementara rumpun bahasa Papua terdiri atas 150
bahasa. Rumpun bahasa Papua berkembang di wilayah timur nusantara,
termasuk Timor Timur, kepulauan Maluku dan Papua Barat. Rumpun bahasa
Austronesia juga merasuk ke wilayah- wilayah ini.
Jika bukti tertulis yang hendak dikedepankan dalam
masalah bahasa ini, maka prasasti Muara Kaman, yang berlokasi di
Kalimantan Timur, 150 km ke arah hulu Sungai Mahakam, dapat diambil
selaku titik tolak tertua. Prasasti tersebut dicanangkan tahun 400
Masehi. Hal yang menarik adalah, prasasti tersebut menyuratkan adanya
proses asimilasi dua budaya. Pertama Indonesia asli, kedua pengaruh
India. Proses ini terlihat dari isi prasasti yang berlingkup pada
perubahan nama.
Prasasti di Muara Kaman tersebut menceritakan Raja
Kudungga punya putra namanya Acwawarman. Acwawarman punya tiga putra dan
yang paling sakti di antara ketiganya adalah Mulawarman. Acwawarman dan
Mulamarman adalah bahasa Sanskrit, sementara Kudungga adalah bukan dan
kemungkinan besar adalah nama yang berkembang sebelum datangnya pengaruh
India dan agama Hindu. Jadi, nama Kudungga dapat dikatakan sebagai nama
“Kalimantan” asli atau “Indonesia” asli. Pola ini diubah dengan
mahirnya oleh para jenius lokal Indonesia, sehingga turunan langsung
dari Kudungga otomatis langsung mengadaptasi Sanskrit sebagai bahasa
penyebut gelarannya.
Bahasa Sanskerta yang dibawa dari India, setelah masuk ke Indonesia berangsur-angsur
mengalami perubahan. Di Jawa misalnya, bahasa hasil asimilasi Sanskerta
dengan budaya lokal lalu dikenal dengan Kawi. Bahasa Kawi atau juga
dikenal sebagai Jawa Kuno kemudian menyebar ke pulau lain. Di Sumatera
Barat bahasa ini berkembang lewat kekuasaan raja-raja vassal Jawa semisal Adityawarman. Namun, sulit dipungkiri bahwa bahasa Kawi dipengaruhi secara besar oleh bahasa Sanskrit.
Saat itu pula, nusantara dikenal dengan penggunaan 3
bahasa yang punya fungsi sendiri- sendiri. Pertama bahasa Jawa Kuna
sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, Melayu Kuna sebagai bahasa perdagangan, dan Sanskerta sebagai bahasa keagamaan. Di era Hindu-Buddha
jadi mainstream di nusantara, Sanskerta merupakan kelompok bahasa
“tinggi” yang dipakai dalam kepentingan keagamaan maupun bahasa formal
suatu kerajaan. Bahasa ini cukup “elitis” layaknya bahasa Yunani dan
Latin pada Abad Pertengahan Eropa.
Selain bahasa, huruf Pallawa yang digunakan untuk menulis kosa kata Sanskerta pun turut menyumbangkan pengaruh para huruf-huruf yang berkembang di Indonesia seperti Bugis, Sunda, ataupun Jawi yaitu bahasa Kawi yang saat ini menjadi pembahasan kami.
Bahasa Jawa Kuno yang ada pada Nagarakrtagama sulit
dipahami oleh penutur bahasa Jawa sekarang, karena ia bukan bahasa Kawi
yang terdapat dalam karya klasik Jawa, seperti karangan Ranggawarsita
dalam abad ke-19. Bahasa Jawa Kuno yang dituturkan Mpu
Prapanca, lebih tua lagi. Dapat didefenisikan sebagai bahasa Jawa dari
zaman sebelum masuknya Islam di Jawa, yang diilhami peradaban Hindu-Budha Jawa.
Robson yang menguasai bahasa Jawa Kuno itu juga mengungkapkan siapa Mpu Prapanca yang selama ini dipertanyakan banyak orang.
Bhajrodhakasraya merupakan karya sastra Bali klasik
yang berupa wacanan tulis dan berbentuk prosa. Teks tersebut ditulis di
atas kertas berukuran folio dengan huruf Bali dalam bahasa Kawi-Bali .
Teks Bhajrodhakasraya cukup menarik untuk diteliti karenan di dalamnya
memuat konsep ajaran etika dan ketuhanan (widhi tatwa) yang terkait
dengan ajaran agama Hindu dan Budha. Berkaitan dengan hal itu,
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah masalah bentuk,
fungsi, dan makna teks Bhajrodhakasraya. Berdasarkan hasil analisis,
dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut (1) teks Bhajrodhakasraya ini ceritanya dibentuk dalam episode-episode
yang terdiri atas delapan episode dengan menggunakan bahasa Kawi –
Bali. Pemakaian bahasa tersebut diwarnai pula dengan pemanfaatan kata-kata
Kawi – Bali yang berinfik, bersufik, bentuk ulang, dan gaya bahasa
(perbandingan, hiperbola, dan litotes). Struktur naratif teks
Bhajrodhakasraya disusun dengan unsur-unsur seperti, tema,
tokoh, dan latar yang saling berkait. (2) Fungsi teks Bhajrodhakasraya
dalam masyarakat Bali adalah sebagai sarana hiburan, sebagai sarana
pendidikan (etika), dan sebagai ajaran ketuhanan (widhi tatwa). (3)
Makna teks Bhajrodhakasraya dalam konteks sosial religius masyakat Bali
adalah (a) pengamanalan dharma untuk menyiasati adharma, (b) asubha
karma tidak perlu dibahas dengan asubha karma, dan (c) memberi
kesempurnaan hidup pada manusia.
Setelah kebudayaan tulis seni sastra pun mulai berkembang dengan pesat.
Seni sastra berbentuk prosa dan tembang (puisi).
Tembang jawa kuno umumnya disebut kakawin. Irama kakawin didasarkan pada
irama dari India.
Berdasarkan isinya, kesusastraan tersebut terdiri
atas kitab keagamaan (tutur/pitutur), kitab hukum, kitab wiracarita
(kepahlawanan) serta kitab cerita lainnya yang bertutur mengenai masalah
keagamaan atau kesusilaan serta uraian sejarah, seperti
Negarakertagama.
Bentuk wiracarita ternyata sangat terkenal di
Indonesia, terutama kisah Ramayana dan Mahabarata. Kisah India itu
kemudian digubah oleh para pujangga Indonesia, seperti Baratayudha yang
digubah oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh. Berkembangnya karya sastra,
terutama yang bersumber dari kisah Mahabarata dan Ramayana, telah
melahirkan seni pertunjukan wayang kulit(wayang purwa).
Di dalam disertasi ini dibahas pengaruh bahasa Jawa
ke dalam bahasa Indonesia pada semua tataran. Pada tataran fonologis
ditemukan peminjaman fonem dan gabungan fonem bahasa Jawa yang dulunya
tidak terjadi di dalam bahasa Indonesia; pada tataran morfologis dan
sintaktis ditemukan peminjaman pola sintaktis dan morfem fungsi bahasa
Jawa; dan pada tataran leksikal terdapat peminjaman kata dan ungkapan
bahasa Jawa.
Peminjaman itu disebabkan oleh beberapa faktor yang langsung mempengaruhi bahasa Indonesia, antara lain :
(i)kelompok etnis/penutur bahasa non-Jawa yang tinggal di pulau Jawa yang memungut dan menyebarkan unsur-unsur bahasa Jawa,
(ii)kelompok etnis/penutur Jawa yang berada di permukiman kelompok etnis non-Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia,
(iii)tulisan bahasa Indonesia yang ditulis oleh kelompok etnis/penutur bahasa Jawa,
(iv)pidato-pidato para pejabat dan tokoh masyarakat yang berasal dari kelompok etnis/penutur bahasa Jawa,
(v)penerjemahan atau salinan literatur bahasa Jawa Kuno ke dalam bahasa Indonesia oleh kelompok etnis/penutur bahasa Jawa atau non-Jawa.
Peminjaman unsur bahasa Jawa itu juga menghasilkan, antara lain :
(i)unsur-unsur yang lebih sopan dari bahasa Melayu (bahasa Indonesia), seperti tinja untuk tai dan ke belakang (neng mburi) untuk berak;
(ii)unsur-unsur ungkapan puitis, seperti watas (batas) dan waja (baja);
(iii)beberapa
konsep modern dari Barat yang belum ada padanannya dalam bahasa Melayu
(bahasa Indonesia), seperti wawancara ‘interview’, mogok ‘to strike’,
dan imbuhan ‘affix’.
BAHASA KAWI
Keping Tembaga Laguna, sebuah tulisan dengan aksara Kawi dari Filipina tahun 900 M. Jenis Abugida Bahasa yang dituturkan Indonesia, Filipina, Malaysia Masa digunakan abad ke-8 8th– abad ke-16 Silsilah
SEJARAH BAHASA JAWA

Sastera Jawa Kuno
Sastera Jawa Kuno menurut rekod tertulis bermula sekitar abad ke 9 Masehi sehingga abad ke 14 Masehi. Sastera Jawa Kuno dalam bahasa Jawa yang pertama dikesan adalah Prasasti (Batu bersurat) Sukabumi. Batu bersurat Sukabumi berbentuk sastra ini ditulis dengan baik dalam bentuk prosa atau puisi.
Sastra Jawa Pertengahan
Sastera Jawa Pertengahan muncul di kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai sekitar abad ke-16 Masehi. Setelah ini, sastera Jawa Pertengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.
Sastra Jawa Baru
Sastera Jawa Baru muncul dengan kemasukan agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad 15 - 16 Masehi. Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastera mereka. Maka pada masa-masa awal, zaman Sastera Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting. Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun ~ 1650 Masehi, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernafaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru. Sebuah jenis karya yang khusus adalah karya sastra yang disebut babad. Karya ini menceritakan sejarah. Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
SEJARAH PENYEBARAN BAHASA JAWA
Penduduk Jawa yang berpindah ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61%), Bengkulu (25%), Sumatra Utara (antara 15%-25%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara ini, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak jaman penjajahan Belanda.
Selain di kawasan Nusantara ataupun Malaysia. Masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela.
Berikut Contoh Makalahnya
Alit Janiartha : Klik To Download
·Kawi
Aksara serumpun
No comments:
Post a Comment